POLA HUJAN KE DEPAN DI JAWA DAN BALI BERUBAH : PETANI CABE PERLU MENYESUAIKAN


Diperkirakan awal musim hujan di Jawa dan Bali cenderung mundur dan berakhir Iebih cepat, dan intensitas hujan MH (Musim Hujan) cenderung meningkat hingga tahun 2050. Para petani cabe diharapkan bisa menyesuaikan dengan perubahan pola hujan tersebut.

Hal itu dikatakan Rizaldi Boer dari Pusat Kajian Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim di Asia Tenggara dan Pasifik, Institut Pertanian Bogor pada Workshop Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Hortikultura Ramah Lingkungan di Jakarta.
Diperkirakan awal musim hujan di Jawa dan Bali cenderung mundur dan berakhir Iebih cepat, dan intensitas hujan MH (Musim Hujan) cenderung meningkat hingga tahun 2050. Para petani cabe diharapkan bisa menyesuaikan dengan perubahan pola hujan tersebut.

Hal itu dikatakan Rizaldi Boer dari Pusat Kajian Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim di Asia Tenggara dan Pasifik, Institut Pertanian Bogor pada Workshop Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Hortikultura Ramah Lingkungan di Jakarta.

Menurutnya kemampuan kita memprediksi iklim, khususnya awal musim hujan dan sifat hujan musim kemarau pada beberapa wilayah khususnya wilayah hujan bertipe moonson seperti Jawa, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Indonesia Bagian Timur sudah tinggi, sayangnya belum dimanfaatkan dengan baik.

Untuk mengatasi perubahan iklim ini Rizaldi Boer menyarankan agar pemerintah melakukan pemberdayaan petani melalui Sekolah Lapang Iklim (SLI) dan penguatan kelembagaan petani dan memberikan perlindungan petani melalui pengembangan sistem asuransi iklim.

Perubahan iklim menurutnya telah menyebabkan terjadinya perubahan jenis hama dan penyakit dominan. Diungkapkannya penyakit gemini pada cabe yang disebabkan oleh virus dan ditularkan oleh kutu kebul (Hemisia tabaco) dalam lima tahun terakhir juga sudah menyerang di pusat produksi cabe di Jawa seperti Bagor, Cianjur, Brebes, Wonosobo, Magelang, Klaten, Boyolali, Kulonprogo, Blitar dan Tulungagung. "Sementara riset tentang penyakit ini masih sangat terbatas," tuturnya.

Petani cabe di Jonggol, Kabupaten Bogor, Wayan Supadno mengatakan penyakit pada tanaman cabe yang disebabkan oleh virus telah menjadi ancaman yang paling serius dan belum ada obatnya. "Butuh tindakan preventif dan profilaksis imunitas sedini mungkin, bukan terapi (kuratif) karena virus belum ada obatnya," tutur Wayan Supadno.

Hal senada juga diungkapkan Dadi Suriana, Ketua Asosiasi Agribisnis Cabe Indonesia (AACI). Menurutnya untuk penanganan OPT cabe perlu dikembalikan ke yang ramah lingkungan dengan mengutamakan pencegahan. "Selain itu, juga harus ada informasi ramalan cuaca semusim, 6 bulanan dari BMKG yang disebarluaskan kepada para petani ," tambah Dadi.

Rizaldi Boer menambahkan perubahan iklim ini punya dampak langsung dan tidak langsung kepada petani. yang semakm sering tidak menentu karena pola perubahan iklim yang tidak sama antar wilayah atau antar negara. tidak langsung kepada petani. Dampak langsungnya adalah bisa terjadi gagal panen karena kekeringan dan banjir, penurunan hasil karena kondisi cuaca yang sering kurang menguntungkan; misalnya pada kentang turunnya viabilitas benih karena hujan tipuan (false rain) yang semakin sering terjadi.

Sedangkan dampak tidak langsungnya adalah meningkatnya serangan hama dan penyakit, ketersediaan input (kompetisi dengan komoditi lain), perubahan hargayang semakin sering tidak menentu karena perubahan pola iklim yang tidak sama antar wilayah atau antar negara.

Informasi iklim lainnya yang perlu diketahui petani adalah kejadian awal hujan yang tidak sesungguhnya (false rain). Dia contohkan hujan pada awal September atau Oktober memicu petani kentang di Pangalengan, Jawa Barat mulai tanam karena berasumsi MH sudah mulai, padahal belum, sehingga pertumbuhan awal terganggu. "Kalau awal MH mundur dan tidak terjadi false rain, benih dari musim ceboran tersimpan terlalu lama (lebih dari 3 bulan) sehingga viabilitas turun," jelasnya.
◄ Newer Post Older Post ►