Bagaimana Bank Indonesia ?
Apakah berwenang Bank Indonesia mengeluarkan produk-produknya yang mengatur untuk dipatuhi oleh masyarakat pemakai-pemakai surat-surat berharga?
Di mana letak keampuhan Bank Indonesia dalam mengatur dunia perbankan ?
Dengan permohonan maaf yang amat sangat, dan dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada Bank Indonesia, saya berpendirian Bank Indonesia hanya sekedar bagian dari lembaga eksekutif, sekedar organ administratif. Saya melihat keampuhan kuku atau gigi Bank Indonesia mengatur perbankan itu dikarenakan Bank Indonesia diberi status sebagai “pemberi izin” untuk pendiri-pendiri usaha perbankan.
Dalam hubungan inilah Bank Indonesia mempunyai kuku dan gigi untuk bertindak terhadap bankir. Jika ingin memperoleh izin pendirian bank dan ingin tetap aaman izin tersebut berlaku, dengan ancaman manakala tidak dipenuhi maka izin itu sewaktu-waktu dapat dicabut oleh Bank Indonesia, maka tiada jalan lain harus patuh terhadap otoritas Bank Indonesia. Demikian saya melihat wewenang Bank Indonesia itu sepenuhnya hanya sebatas dalam hukum Administrasi Negara.
Dengan kata lain kuku dan gigi Bank Indonesia itu hanyalah dapat ditujukan kepada penyelenggara bank, dan tidak dapat dipergunakan untuk nasabah-nasabah bank dalam perbuatan-perbuatan perdata. Demikian produk-produk perundangan-undangan yang dilahirkan oleh Bank Indonesia hanya berlaku sebagai hukum administrasi untuk penyelenggara perbankan, dan tidak dapat mengikat nasabah-nasabah bank dalam perbuatan perdata. Oleh sebab itu jika kita ingin mengatur hukum surat-surat berharga mutlak harus dilakukan melalui undang-undang yaitu dengan peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh wakil-wakil rakyat, yaitu lembaga legislatif.
Bagaimana dengan Giro Bilyet ?
Saya melihat lahirnya lembaga Giro Bilyet semata-mata atas dasar praktek, sebagai antisipasi rekayasa untuk menghindari berlakunya Undang-undang tentang “Larangan Penarikan Cek Kosong (UU No.17 tahun 1964)”.
Pada waktu itu keadaan ekonomi kita dalam keadaan laju inflasi yang sangat tinggi, sementara banyak terbitnya cek kosong, termasuk dalam praktek terbitnya postdated cheque, sehingga menambah lajunya inflasi yang berakibat menyulitkan Pemerintah dalam melaksanakan stabilisasi/perbaikan di bidang moneter dan perekonomian.
Selain dari pada itu meluasnya penggunaan cek kosong itu menimbulkan dampak hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lalu lintas pembayaran dengan cek. Dalam hubungan ini maka diterbitkan undang-undang “Larangan Penarikan Tjek Kosong” Yang dimaksud dengan cek kosong menurut undang-undang ini adalah cek yang ditarik yang pada waktu penarikannya tidak didukung dengan dana yang cukup. Menurut karakteristik cek, memang pada waktu cek ditarik sudah harus ada dananya pada waktu penarikan itu.
Menurut pasal 1 UU Cek Kosong, Barang siapa menarik suatu cek, sedangkan ia mengetahui atau patut harus menduga, bahwa sejak saat ditariknya untuk cek tersebut tidak tersedia dana yang cukup pada bank atas dimana cek tersebut ditari (kosong) dipidana dengan mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara sementera selama-lamanya dua puluh tahun dan dipidana denda sebanyak-banyaknya empat kali jumlah yang ditulis dalam cek kosong yang bersangkutan. Dan delik ini dirumuskan secara formil. Pendek kata manakala telah terjadi, maka terjadilah delik, tanpa perlu lagi diperiksa apakah ada opzet (dengan maksud) atau kealpaan.
Tetapi ternyata dengan lahirnya Undang-undang cek kosong ini, melahir dampak negatip yang lain. Orang takut untuk mempergunakan cek, yang berakibat orang tidak mau lagi menyimpan uangnya di bank. Maka dalam praktek lahir suatu bentuk surat berharga baru yang diberi nama “GIRO BILYET”, sebagai akal-akalan untuk menghindari UU Cek Kosong. Bukankah yang dilarang dan diancam dengan pidana mati adalah “Cek”, sedang yang dipergunakan sekarang “Giro Bilyet”, jadi undang-undang tersebut tidak dapat diperlakukan. Bahkan secara resmi boleh dipostdatedkan. Pada hal ini dapat mempercepat inflasi. Sebagai dampaknya, yang berbeda dengan cek, jika cek dinamakan sebagai “betaald middel”, karena pada waktu ditarik pasti tersedia dananya yang dapat ditagih sewaktu-waktu.
Sedang pada Giro Bilyet, tidak bisa lagi kita katakan “betaald middel”, melainkan telah berubah menjadi “kredit middel” Sebagai alat untuk memberi kredit, yaitu tidak usah dibayar pada waktu ditarik, tetapi diberikan kesempatan tenggang waktu tertentu yaitu menurut tanggal efektif
Saya tidak jelas, mengapa ditentukan “larangan endosemen”. Apakah tujuannya untuk mengerem lajunya inflasi.
Menurut hemat saya, akhirnya instrumen yang diciptakan dalam Giro Bilyet itu tidak banyak berbeda dengan Cheque. Yang berbeda hanyalah dalam Giro Bilyet, ada dua tanggal yang berbeda, yaitu “tanggal penarikan” dan “tanggal efektif”.
Akhirnya oleh Bank Indonesia diterbitkan Surat Edaran Bank Indonesia No.4/670 UPPB/PbB berlaku mulai 24 Januari 1972. Saya melihat kekuatan Surat Edaran ini tidaklah lain suatu intruksi dari bank Indonesia kepada Bank untuk bank mengaturnya sesuai dengan surat edaran tersebut.
Terkait dengan kewajiban penyediaan dana Cek/BILYET GIRO melalui Kliring, manakah saat yang tepat menurut hukum :
a). Ketika warkat kliring penyerahan tiba (T+0); atau
b). Ketika data nasabah di akses petugas bank ketika warkat penyerahan di proses (T+0 atau T+1).
Kewajiban penyediaan dana untuk BILYET GIRO adalah pada saat tanggal efektif dan telah ditunjukkan. Sedangkan untuk Cek, kewajiban penyediaan dananya pada saat ditunjukkan.
Dyah N.K. Makhijani mengemukakan bahwa jika ingin dilihat lebih detil, kewajiban penyediaan dana seharusnya adalah pada saat bank akses ke rekening Penarik (saat warkat dibebankan pada rekening).
Kewajiban penyediaan dana untuk Cek tidak dpt disamakan dgn kewajiban penyediaan dana untuk BILYET GIRO, untuk Cek pada saat pengunjukan, sedangkan BILYET GIRO sejak tgl efektif (Konsekuensi: perlu pemisahan penekanan kewajiban penyediaan dana untuk Cek dan BILYET GIRO dalam SEBI TUCK).
Menurut Dr. Felix, kewajiban penyediaan dana untuk Cek dan BILYET GIRO berbeda. Kewajiban penyediaan dana untuk Cek adalah pada saat pengunjukan, karena dalam sistem hukum Indonesia saat ini tidak dikenal adanya postdated, sedangkan kewajiban penyediaan dana untuk BILYET GIRO hádala pada saat tanggal efektif.
A. Rasjid Madrid menanyakan bahwa bukankah filosofi antara Cek dan BILYET GIRO sama? Yaitu sama-sama surat perintah tak bersyarat.
Menurut Prof. Prasetya dan Roedjiono sesuai sejarah, keberadaan BILYET GIRO adalah karena tingkat kepercayaan masyarakat dalam penggunaan Cek pada waktu itu merosot. BILYET GIRO menyederhanakan amanat pemindahbukuan yang tidak diakomodir oleh Cek sepenuhnya.
Atas uraian ini, Dr. Peter Mahmud menanyakan bahwa sebenarnya dalam hal ini BILYET GIRO ekuivalen dengan instrumen apa?
Dr. Felix menanggapi dengan mengatakan bahwa filosofi adanya BILYET GIRO adalah untuk mengakomodir tidak dikenalnya postdated check dalam sistem hukum kita yang mengacu pada KUHD.
Iwan Setiawan menanyakan apakah sebenarnya latar belakang adanya perumusan pasal-pasal dalam KUHD yang kurang jelas dan jika dilihat satu per satu seolah-olah saling bertentangan?
Roedjiono menjawab bahwa pada saat Cek diperkenalkan, penggunanya belum banyak dan ada keinginan besar untuk segera menggunakan Cek sebagai alat bayar. Terkait dengan perumusan kewajiban penyediaan dana, kemungkinan akan memberatkan jika kewajiban penyediaan dana untuk Cek adalah pada saat diterbitkan. Akhirnya terdapat penambahan Pasal 90a dalam KUHD, yaitu kewajiban penyediaan dana untuk Cek adalah pada saat diunjukkan.
Prof. Rudhi Prasetya menambahkan bahwa sejarah Cek bergulir dari Belanda ke Perancis untuk mengantisipasi kerepotan membawa uang (emas) tunai yang kemudian dititipkan kepada seseorang, yang pada akhirnya dengan back-up uang (emas) tunai tersebut, diterbitkanlah Cek.
Untuk memahami pasal-pasal KUHD, Dr. Felix menambahkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam KUHD harus dibaca seutuhnya, jangan sepotong-sepotong.
catatan kaki:
catatan kaki:
[1] Menurut hukumnya chequa adalah “alat bayar” (betaald middel) pengganti dari uang tunai yang sudah harus tersedia pada bank tertarik pada waktu ditarik. Jika dimungkinkan dengan postdated cheque, berarti menciptakan alat pembayar yang baru, yang akan berdampak lebih laju terjadinya inflasi. Dalam hubungan inilah pasal 205 KUHD yang menyatakan tiap cek harus dibayar pada waktu ditunjukkan. Tiap penetapan akan kebalikkannya dianggap tak tertulis. Cek yang diajukann untuk pembayarannya sebelum hari yang disebut sebagai hari tanggal dikeluarkan, harus dibayar pada hari ditunjukkannya.