Suatu  hari di antara para pemuda yang datang melamar itu terdapatlah seorang  putra mahkota. Namun apa hendak dikata, lamaran itu ditolak putri sang  Putri, sehingga Baginda merasa heran. Begitulah yang terjadi hingga  lamaran tujuh putra mahkota kerajaan lain selalu ditolak sang putri. 
“Mengapa  putriku selalu menolak setiap lamaran yang datang?” begitu tanya  baginda dalam hati. Baginda raja merasa heran dengan kelakuan putrinya  itu. Ia juga malu kepada raja-raja sekitarnya serta khawatir kalau-kalau  ada sesuatu yang disembunyikan putrinya. 
Karena  penolakan tersebut selalu terjadi berulang-ulang, baginda pun  bermusyawarah dengan permaisuri. Mencari tahu apa yang membuat sang  putri menolak setiap lamaran pemuda yang ingin menjadikannya sebagai  istri. Akhirnya, sepakatlah mereka berdua untuk memanggil sang putri dan  menanyakan langsung kepadanya. 
Pada  satu saat permasisuri pun memiliki kesempatan yang tepat untuk  memanggil putrinya dan menanyakan latar belakang tingkah lakunya.  “Anakku yang cantik, mengapa selama ini ananda selalu menolak lamaran  yang datang?” tanya sang permaisuri. 
Ditanya  demikian sang putri sempat terdiam sesaat. Akhirnya dengan berat hati,  sedih bercampur malu sang putri pun menerangkan sikapnya. ”Bukanlah  ananda tidak mau menerima lamaran itu. Tapi, merasa malu dengan penyakit  yang sedang ananda derita ini,” jawab sang Putri. “Penyakit apakah yang  sedang Ananda derita?” tanya sang Permaisuri lagi. 
Ditanya  demikian sang putri kembali terdiam. Dia tak berani menatap ibunya.  Sang Permaisuri pun segera mendekati sang Putri dan memeluk putri  kesayangannya itu. Dalam pelukan permaisuri, sambil terisak, sang Putri  pun menceritakan ihwal penyakit yang sedang ia derita. Ia menderita  penyakit kelamin. 
Mendengar  jawaban itu, permaisuri pun mengerti dan merasa sedih dengan nasib  putrinya itu dan menyampaikannya kepada baginda. Mendengar berita itu  baginda sangat bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya  ia memutuskan untuk membuat sayembara. Dipanggilnya hulubalang istana. 
“Hai  hulubalang, buatlah sebuah pengumuman ke seluruh negeri ini. Barang  siapa dapat menyembuhkan sang putri, sebagai hadiah akan dinikahkan  dengan putriku,” perintah baginda. 
Disebarkanlah  pengumuman itu ke seluruh negeri. Banyak orang yang datang untuk  mencoba menyembuhkan sang putri. Namun, setelah berbagai ikhtiar  dilakukan, tak satu pun yang berhasil. Putuslah harapan baginda terhadap  kesembuhan putrinya. Karena tak berhasil, baginda pun memilih menempuh  jalan lain. Mengasingkan sang putri ke sebuah semenanjung, di sebelah  utara Pulau Bali. 
Setelah  segala sesuatu disiapkan, diantar baginda dan permaisuri beserta  pembantu-pembantu istana yang telah ditentukan, sang putri berangkat ke  tempat pengasingannya. Sesampai di tempat yang dituju, di tengah hutan,  sang putri ditinggal sendiri. Kemudian, setelah memohon kepada dewata  bagi perlindungan anaknya, dengan sedih baginda pun meninggalkan tempat  tersebut. 
Sebetulnya  di hutan itu sang putri tak sendiri. Ia ditemani seekor anjing, bernama  Tumang. Sesekali waktu datang beberapa orang pembantu istana datang  melihat keadaannya sambil membawakan segala keperluan hidup. 
Suatu  hari, ketika sang putri sedang buang air kecil, dilihat oleh Tumang,  anjing peliharaannya itu. Lalu, Tumang pun menjilati air kencing sang  putri, juga sisa-sisa air kencing yang melekat di kemaluan sang putri.  Sang putri pun membiarkannya. Kejadian seperti itu berlangsung hampir  setiap kali sang putri kencing dan cukup lama. Satu keanehan terjadi.  Penyakit yang diderita sang putri berangsur sembuh. 
Sudah  menjadi hukum alam bahwa, manusia adalah makhluk yang lemah. Begitu  juga dengan sang putri. Sebagai seorang gadis remaja, ia juga  mendambakan kehangatan kasih mesra seorang kekasih. Karena tanpa  pengawasan, ditambah lagi asmara yang sedang menggelora, maka perbuatan  dengan anjingnya itu berubah sebagai pelampiasan nafsunya yang sedang  menggelora. Hari berganti pekan, pekan berganti bulan, kebiasaan sang  putri berujung menjadi hubungan kelamin antara kedua makhluk berlainan  jenis dan keturunan itu, hingga akhirnya sang putri pun mengandung. 
Ketika  rombongan dari istana datang meninjau, kelihatanlah bahwa keadaan putri  telah berubah dari biasanya. Melihat keadaan itu, pemimpin rombongan  menanyakan kejadian sebenarnya yang dialami sang putri. Setelah didesak,  sang putri pun berterus terang dan menceritakan apa yang telah  dilakukannya dengan si Tumang. 
Begitu  kembali ke istana, kabar buruk itu pun langsung disampaikan pemimpin  rombongan kepada baginda dan permaisuri. Begitu mendengar kabar  tersebut, bukan main murkanya baginda. Ingin rasanya ia segera menyudahi  putrinya itu. 
Setelah  beberapa hari berfikir, baginda mendapat cara untuk menyelesaikan  persoalan yang menimpa putrinya tersebut. Pada suatu malam, baginda  mensucikan diri dan memohon kepada dewata agar putrinya dihukum dengan  jalan menghancurkan tempat yang dihuni putrinya berhubung tempat  tersebut telah menjadi kotor, sehingga akan mencemarkan nama baik  baginda. 
Dengan  kehendak dewata, beberapa hari kemudian turun hujan sangat deras  disertai angin ribut yang sangat besar. Sekejap kemudian putuslah bagian  semenanjung utara Pulau Bali yang ditempati sang putri diasingkan, lalu  hanyut terapung-apung dibawa gelombang ke utara. 
Download filenya disini
