Ribuan nelayan kecil di Indramyau, Jawa Barat, termasuk buruh nelayan alias ABK (Anak Buah Kapal) memasuki cuaca ekstrem atau cuaca tidak menentu ini termasuk kelompok masyarakat yang kurang beruntung.
Selama memasuki cuaca ekstrem, mulai Desember 2010 – Januari 2011, sebagian dari nelayan kecil dan buruh nelayan itu praktis menganggur, sehingga kehilangan pendapatan. Ujung-ujungnya, mereka terancam kelaparan lantaran tak mampu lagi membeli bahan pangan.
Nelayan menyebut saat ini sedang memasuki masa paceklik. Masa, dimana nelayan mengalami kesulitan mendapatkan hasil tangkapan laut.
Sarkim (43) nelayan di Blok Glayem Kecamatan Juntinyuat, Indramayu, mengatakan, cuaca ekstrem berlangsung setiap tahun. Datangnya cuaca ekstrem itu ditandai oleh tingginya curah hujan. Kencangnya tiupan angin dari arah barat atau disebut angin barat serta tingginya gelombang laut.
Kondisi itu semakin diperparah lagi dengan menjauhnya habitat laut yang menjadi sasaran tangkap para nelayan di laut seperti ikan, udang maupun cumi-cumi. Sehingga jika ada beberapa nelayan yang memaksakan diri melaut, maka hasilnya sangat minim.
Wasman, 42 nelayan kecil di Desa Eretan Kulon mengemukakan, untuk berangkat mencari hasil tangkapan laut, dibutuhkan biaya untuk perbekalan, solar dan sebagainya mencapai Rp200 ribu. Sementara hasil tangkapan laut, dibawah jumlah itu. Sehingga hal itu sangat merugikan nelayan.
Untuk bertahan hidup, sebagian nelayan mengandalkan hutang. Baik dari juragan alias pemilik kapal, bakul ikan maupun rentenir dan koperasi. Jika hutang-hutang itu habis dimakan, para nelayan kecil termasuk buruh nelayan terpaksa beralih profesi. Ada yang bekerja serabutan, penarik becak maupun jadi pemulung barang bekas di Jakarta.
Nasib kelabu ini hampir merata dialami nelayan kecil dan buruh nelayan di Indramayu. Sayangnya, menurut nelayan, sekalipun kondisi mereka sulit hingga saat ini mereka luput dari perhatian pemerintah.
Selama musim paceklik berlangsung, para keluarga nelayan yang sedang ditimpa sengsara ini hanya menerima pembagian sembako dari KUD Misaya Mina Eretan Wetan. Pengurus koperasi itu memang setiap tahun menyisihkan anggaran berupa dana paceklik yang dikeluarkan pada saat nelayan anggota KUD itu mengalami kesulitan pendapatan saat memasuki masa peceklik.
Sementara itu, di sejumlah muara sungai selasa (18/1) terjadi penumpukan kapal-kapal dan perahu nelayan. Ribuan kapal dan perahu terpaksa diparkir di sejumlah muara sungai. Para nelayan, buruh nelayan termasuk nahkoda kapal tidak berangkat ke laut dengan alasan yang sama cuaca sedang tidak menguntungkan. (poskota)
Sarkim (43) nelayan di Blok Glayem Kecamatan Juntinyuat, Indramayu, mengatakan, cuaca ekstrem berlangsung setiap tahun. Datangnya cuaca ekstrem itu ditandai oleh tingginya curah hujan. Kencangnya tiupan angin dari arah barat atau disebut angin barat serta tingginya gelombang laut.
Kondisi itu semakin diperparah lagi dengan menjauhnya habitat laut yang menjadi sasaran tangkap para nelayan di laut seperti ikan, udang maupun cumi-cumi. Sehingga jika ada beberapa nelayan yang memaksakan diri melaut, maka hasilnya sangat minim.
Wasman, 42 nelayan kecil di Desa Eretan Kulon mengemukakan, untuk berangkat mencari hasil tangkapan laut, dibutuhkan biaya untuk perbekalan, solar dan sebagainya mencapai Rp200 ribu. Sementara hasil tangkapan laut, dibawah jumlah itu. Sehingga hal itu sangat merugikan nelayan.
Untuk bertahan hidup, sebagian nelayan mengandalkan hutang. Baik dari juragan alias pemilik kapal, bakul ikan maupun rentenir dan koperasi. Jika hutang-hutang itu habis dimakan, para nelayan kecil termasuk buruh nelayan terpaksa beralih profesi. Ada yang bekerja serabutan, penarik becak maupun jadi pemulung barang bekas di Jakarta.
Nasib kelabu ini hampir merata dialami nelayan kecil dan buruh nelayan di Indramayu. Sayangnya, menurut nelayan, sekalipun kondisi mereka sulit hingga saat ini mereka luput dari perhatian pemerintah.
Selama musim paceklik berlangsung, para keluarga nelayan yang sedang ditimpa sengsara ini hanya menerima pembagian sembako dari KUD Misaya Mina Eretan Wetan. Pengurus koperasi itu memang setiap tahun menyisihkan anggaran berupa dana paceklik yang dikeluarkan pada saat nelayan anggota KUD itu mengalami kesulitan pendapatan saat memasuki masa peceklik.
Sementara itu, di sejumlah muara sungai selasa (18/1) terjadi penumpukan kapal-kapal dan perahu nelayan. Ribuan kapal dan perahu terpaksa diparkir di sejumlah muara sungai. Para nelayan, buruh nelayan termasuk nahkoda kapal tidak berangkat ke laut dengan alasan yang sama cuaca sedang tidak menguntungkan. (poskota)