Anggota Kelompok : 1)Rica Fitriyanti; 2)Meitika Triyustitia; 3)Megavani R; 3)Ibni Ulhusna
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Derajat kesehatan dan keselamatan yang tinggi di tempat kerja merupakan hak pekerja yang wajib dipenuhi oleh perusahaan disamping hak-hak normatif lainnya. Perusahaan hendaknya sadar dan mengerti bahwa pekerja bukanlah sebuah sumber daya yang terus-menerus dimanfaatkan melainkan sebagai makhluk sosial yang harus dijaga dan diperhatikan mengingat banyaknya faktor dan resiko bahaya yang ada di tempat kerja.
Selain perusahaan, pemerintah pun turut bertanggungjawab untuk melindungi kesehatan dan keselamatan kerja. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang yang mengatur tentang K3 yaitu UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Permenaker No.05/Men/1996 tentang Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3).
Di dalam pasal 87 (1): UU No.13 Th 2003 Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa setiap perusahaan wajib menetapkan sistem manajemen K3 yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Pada pasal 3 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa setiap perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sebanyak 100 orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran lingkungan dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan sistem manajemen K3. Dengan demikian kewajiban penerapan SMK3 didasarkan pada dua hal yaitu ukuran besarnya perusahaan dan tingkat potensi bahaya yang ditimbulkan.
I.2 Tujuan dan sasaran
Tujuan dan sasaran yang termuat dalam SMK3 ini adalah :
1. menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja
2. terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
PEMBAHASAN
II.1 Peraturan SMK3 Konstruksi
System manejemen keselamatan dan kesehatan didefinisikan sebagai kombinasi dari susunan organisasi manejemen, termasuk elemen-elemen perencanaan dan kaji ulang, susunan konsultatif dan program khusus yang terintegrasi untuk meningkatkan kinerja keselamatan dan kesehatan.( Menurut Clare Gallagher )
Konstruksi merupakan suatu kegiatan membangun sarana maupun prasarana. Dalam sebuah bidang arsitektur atau teknik sipil, sebuah konstruksi juga dikenal sebagai bangunan atau satuaninfrastruktur pada sebuah area atau pada beberapa area.
Pelaksanaan pekerjaan konstruksi terutama di bidang pekerjaan umum merupakan kegiatan konstruksi yang spesifik dan komplek sehingga memerlukan sumber daya yang besar, melibatkan tenaga kerja yang banyak dan peralatan berat yang tidak sedikit. Hal ini tentu tidak terlepas dari peluang-peluang kecelakaan dan potensi bahaya yang merupakan bagian dari pekerjaan itu sendiri. Apalagi patut diakui jika hingga saat ini kecelakaan kerja di bidang konstruksi masih menjadi pekerjaan bagi pemerintah.
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan SMK3 konstruksi antara lain :
1. Pasal 22, ayat (2) huruf L, Undang- undang RI No.18 tahun 1999
menyebutkan kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup Uraian mengenai : perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial.
2. PPNo.29 tahun 2000 Pasal 17 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Pada salah satu ayatnya menyebutkan bahwa: penyedia jasa dalam pemilihan penyedia jasa berkewajiban untuk menyusun dokumen penawaran yang memuat :
• rencana dan metode kerja,
• rencana usulan biaya,
• tenaga terampil dan tenaga ahli,
• rencana dan anggaran Keselamatan dan kesehatan kerja dan peralatan.
3. Pasal 30 ayat (1) PP No.29 tahun 2000 menyebutkan bahwa untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, penyelenggara pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang :
• tempat kerja konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
• pelaksanaan pekerjaan konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
II.2 Risiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek Konstruksi
Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang memiliki risiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Berbagai penyebab utama kecelakaan kerja pada proyek konstruksi adalah hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik proyek konstruksi yang bersifat unik, lokasi kerja yang berbeda-beda, terbuka dan dipengaruhi cuaca, waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih. Ditambah dengan manajemen keselamatan kerja yang sangat lemah, akibatnya para pekerja bekerja dengan metoda pelaksanaan konstruksi yang berisiko tinggi. Masalah keselamatan dan kesehatan kerja berdampak ekonomis yang cukup signifikan.
Dari berbagai kegiatan dalam pelaksanaan proyek konstruksi, pekerjaan-pekerjaan yang paling berbahaya adalah pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian dan pekerjaan galian. Pada ke dua jenis pekerjaan ini kecelakaan kerja yang terjadi cenderung serius bahkan sering kali mengakibatkan cacat tetap dan kematian. Jatuh dari ketinggian adalah risiko yang sangat besar dapat terjadi pada pekerja yang melaksanakan kegiatan konstruksi pada elevasi tinggi. Biasanya kejadian ini akan mengakibat kecelakaan yang fatal. Sementara risiko tersebut kurang dihayati oleh para pelaku konstruksi, dengan sering kali mengabaikan penggunaan peralatan pelindung (personal fall arrest system) yang sebenarnya telah diatur dalam pedoman K3 konstruksi.
Jenis-jenis kecelakaan kerja akibat pekerjaan galian dapat berupa tertimbun tanah, tersengat aliran listrik bawah tanah, terhirup gas beracun, dan lain-lain. Bahaya tertimbun adalah risiko yang sangat tinggi, pekerja yang tertimbun tanah sampai sebatas dada saja dapat berakibat kematian. Di samping itu, bahaya longsor dinding galian dapat berlangsung sangat tiba-tiba, terutama apabila hujan terjadi pada malam sebelum pekerjaan yang akan dilakukan pada pagi keesokan harinya.
Data kecelakaan kerja pada pekerjaan galian di Indonesia belum tersedia, namun sebagai perbandingan, Hinze dan Bren (1997) mengestimasi jumlah kasus di Amerika Serikat yang mencapai 100 kematian dan 7000 cacat tetap per tahun akibat tertimbun longsor dinding galian serta kecelakaan- kecelakaan lainnya dalam pekerjaan galian.
Setiap kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai macam kerugian. Di samping dapat mengakibatkan korban jiwa, biaya-biaya lainnya adalah biaya pengobatan, kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja, premi asuransi, dan perbaikan fasilitas kerja. Terdapat biaya-biaya tidak langsung yang merupakan akibat dari suatu kecelakaan kerja yaitu mencakup kerugian waktu kerja (pemberhentian sementara), terganggunya kelancaran pekerjaan (penurunan produktivitas), pengaruh psikologis yang negatif pada pekerja, memburuknya reputasi perusahaan, denda dari pemerintah, serta kemungkinan berkurangnya kesempatan usaha (kehilangan pelanggan pengguna jasa). Biaya-biaya tidak langsung ini sebenarnya jauh lebih besar dari pada biaya langsung. Berbagai studi menjelaskan bahwa rasio antara biaya tidak langsung dan biaya langsung akibat kecelakaan kerja konstruksi sangat bervariasi dan diperkirakan mencapai 4:1 sampai dengan bahkan 17:1 (The Business Roundtable, 1991).
II.3 Pengendalian Risiko
Pengendalian risiko merupakan bagian dari manajemen risiko dan dilakukan berdasarkan penilaian risiko terhadap masing-masing item pekerjaan. Dengan mempertimbangkan peralatan yang digunakan, jumlah orang yang terlibat pada masing-masing item pekerjaan, akan dapat diprediksi peluang kejadian (frequency) dan tingkat keparahan (severity) dari risiko kecelakaan.
Menurut hirarki cara berpikir dalam melakukan pengendalian risiko adalah dengan memperhatikan besaran nilai risiko/ tahapan pengendalian risiko,seperti berikut:
1.Mengeliminasi /menghilangkan sumber bahaya terhadap kegiatan yang mempunyai tingkat risiko yang paling tinggi/besari;
2.Melakukan substitusi /mengganti dengan bahan atau proses yang lebih aman;
3.Engineering:
Melakukan perubahan terhadap desain alat /proses /layout
4.Administrasi:
Pengendalian risiko melalui penyusunan peraturan /standar untuk mengajak melakukan cara kerja yang aman (menyangkut tentang prosedur kerja, ijin kerja, instruksi kerja, papan peringatan/larangan, pengawasan/inspeksi,dsb).
5.Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD).
II.4 kebijakan-kebijakan penerapan SMK3 Konstruksi
Kebijakan Departemen PU dalam penerapan SMK3, dalam rangka mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi serta upaya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja pada tempat kegiatan konstruksi bidang pekerjaan umum.
Departemen Pekerjaan Umum telah menerbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.09/PRT/M/2008 Pedoman Sistem tentang Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum.
Sesuai dengan maksud dan tujuan diterbitkannya peraturan menteri tersebut adalah untuk memberikan acuan bagi pengguna dan penyedia jasa dalam penyelenggaraaan SMK3 konstruksi bidang pekerjaan umum, yang dilaksanakan secara sistematis, terencana, terpadu dan terkoordinasi serta semua pemangku kepentingan agar mengetahui dan memahami tugas dan kewajibannya dalam penerapan SMK3.
Berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 09/PER/M/2008, tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum yang merupakan acuan bagi Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan SMK3 konstruksi bidang pekerjaan umum, UU.No. 18 Tahun 1999 tentang jasa Konstruksi,dimana mensyaratkan Ahli K3 pada setiap proyek / kegiatan terutama pada kegiatan yang memiliki resiko tinggi.
Lebih jauh peraturan ini juga mengatur stakeholder agar mengetahui dan memahami tugas dan kewajibannya dalam penyelenggaraan SMK3 Konstruksi bidang pekerjaan umum sehingga dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja konstruksi dan penyakit akibat kerja konstruksi serta menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman guna tercapainya peningkatan produktifitas kerja yang maksimal.
Dalam rangka mendukung implementasi peraturan tersebut, maka diperlukan perangkat pendukung yang menjadi pedoman baik berupa petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk yang bersifat teknis dalam pelaksanaannya. Sejalan dengan hal ini, BPKSDM sebagai penanggungjawab Pembinaan Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang PU perlu untuk menyusun Monev K3. Konsep juklak Monev K3 ini disusun sesuai kebutuhan yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan konstruksi dan pemanfaatan bangunan perkantoran.
Pelaksanaan Monev K3 terhadap kegiatan konstruksi merupakan cara pemantauan dan penilaian terhadap kinerja Penyelenggaraan K3 Konstruksi Bid. PU oleh setiap unit kerja maupun unit pelaksana terkait, sehingga dapat diketahui sejauh mana penerapan K3 terlaksana pada kegiatan pelaksanaan konstruksi dan pemanfaatan bangunan perkantoran.
II.5 Tugas dan fungsi BPKSDM terhadap pembinaan SMK3
Sesuai dengan tugas dan fungsinya, Badan Pembinaan Konstruksi dan Sumber Daya Manusia (BPKSDM) Departemen Pekerjaan Umum, melalui Pusat Pembinaan Penyelenggaraan Konstruksi telah melakukan beberapa kajian dan bimbingan teknis penerapan SMK3 pada kegiatan konstruksi bidang pekerjaan umum, termasuk mensosialisasikan Permen PU No.09/PRT/M/2008 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Konstruksi, penyedia jasa maupun pengguna dibeberapa provinsi ditanah air.
Masih kurangnya Ahli K3 Konstruksi pada Institusi Pemerintah maupun Swasta, maka Lembaga Pengembangan dan Konsultasi Nasional (LPKN) bersama tim Ahli dari Departemen PU,LPJK,dan Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi (A2K4) Indonesia, bermaksud mengadakan kegiatan : Workshop dan Ujian Ahli Muda K3 Konstruksi
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Dari uraian mengenai berbagai aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada penyelenggaraan konstruksi di Indonesia, dapat diambil kesimpulan bahwa bebagai masalah dan tantangan yang timbul tersebut berakar dari rendahnya taraf kualitas hidup sebagian besar masyarakat. Dari sekitar 4.5 juta pekerja konstruksi Indonesia, lebih dari 50% di antaranya hanya mengenyam pendidikan maksimal sampai dengan tingkat Sekolah Dasar. Mereka adalah tenaga kerja lepas harian yang tidak meniti karir ketrampilan di bidang konstruksi, namun sebagian besar adalah para tenaga kerja dengan ketrampilan seadanya dan masuk ke dunia jasa konstruksi akibat dari keterbatasan pilihan hidup. Permasalahan K3 pada jasa konstruksi yang bertumpu pada tenaga kerja berkarakteristik . Demikian, tentunya tidak dapat ditangani dengan cara-cara yang umum dilakukan di negara maju. Langkah pertama perlu segera diambil adalah keteladanan pihak Pemerintah yang mempunyai fungsi sebagai pembina dan juga “the biggest owner.” Pihak pemilik proyek lah yang memiliki peran terbesar dalam usaha perubahan paradigma K3 konstruksi.
III.2 Saran
Dalam perkembangannya pembina tersebut masih banyak yang harus ditingkatkan terutama pemaham prosedur penyusunan program kegiatan dan penyusunan kebutuhan biaya untuk penyelenggaraan SMK3. Dalam penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi yang didanai oleh APBN/APBD/Pinjaman Luar Negeri, Pemerintah antara lain dapat mensyaratkan penilaian sistem K3 sebagai salah satu aspek yang memiliki bobot yang besar dalam proses evaluasi pemilihan penyedia jasa. Di samping itu, hal yang terpenting adalah aspek sosialisasi dan pembinaan yang terus menerus kepada seluruh komponen Masyarakat Jasa Konstruksi, karena tanpa program-program yang bersifat partisipatif, keberhasilan penanganan masalah K3 konstruksi tidak mungkin tercapai.
Untuk itu pada kesempatan mendatang, berencana menyelenggarakan seminar dengan mengundang pakar/ahli tentang SMK3 dari berbagai lembaga / asosiasi terkait penyedia jasa, atau pun perguruan tinggi. Dari penyelenggaraan seminar tersebut diharapkan dapat dirumuskan upaya yang lebih efektif untuk mendorong terwujudnya penerapan SMK3 sepenuhnya dan disetiap kegiatan konstruksi bidang pekerjaan umum,pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
“Pelaksanaan SMK-3 Perlu Ditingkatkan” dalam www.detailberita.com .tanggal 23 oktober 2010. 12.30 WIB
“Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja” (Smk3) Pada Proyek Jasa Konstruksi (Permen Pu No : 09/Prt/M/2008 & Ohsas 18001:2007)
“Kegiatan pusat pembinaan dan penyelenggaraan konstruksi” dalam www.BadanPembinaanKonstruksi.com .tanggal 23 oktober 2010. 13.00 WIB
“Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia“Oleh REINI D. WIRAHADIKUSUMAH Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.
Edisi 1-2009 buletin BPKSDM “K3 harus diterapkan pada semua pekerjaan konstruksi” dalam www.pu.go.id. Tanggal 23
oktober 2010. 13:45 WIB
sumber: http://ariagusti.wordpress.com/2010/10/29/smk3-jasa-konstruksi/