Anggota Kelompok : 1)Irna Febrindo; 2)Ismadi; 3)Dewi Hera Setyati
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Saat ini fenomena kerusakan lingkungan terjadi di seluruh sektor, salah satunya adalah sektor pertambangan. Pertambangan sebagai industri yang mempunyai resiko lingkungan yang tinggi selalu mendapatkan perhatian khusus oleh publik. Salah satu masalah yang sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (DESDM) adalah maraknya kegiatan pertambangan tanpa ijin (PETI). Istilah PETI semula dipergunakan untuk pertambangan emas tanpa izin, tetapi dalam perkembangan selanjutnya permasalahan PETI tidak hanya pada komoditi bahan galian emas tetapi juga diterapkan pada pertambangan tanpa izin untuk bahan galian lain baik Golongan A, B maupun C (PP No. 27 Tahun 1980 Tentang Penggolongan Bahan-Bahan Galian) yang biasanya termasuk pada pertambangan skala kecil (PSK).
Di berbagai daerah di Indonesia kegiatan pertambangan bahan galian C sepertinya sudah menjadi lumrah. Maraknya kegiatan penambangan bahan galian C ternyata memberikan masalah bagi daerah karena sebagian besar penambangan dilakukan tanpa memiliki izin. Sebut saja daerah-daerah seperti Jawa Barat yang memiliki jumlah penduduk yang padat dengan tingkat kebutuhan bahan galian golongan C seperti : pasir, batuandesit, tanah urug, kapur dsb. yang digunakan untuk keperluan konstruksi diambil dari dareah seperti Sukabumi, Bogor, Cianjur, Bandung, Cirebon dan Indramayu sebagian besar dilakukan pada skala kecil dan tidak memiliki ijin usaha penambangan berupa Surat Ijin Pertambangan Daerah. Keadan demikian membuat pemerintah daerah sulit dalam mengawasi dan mengotrol kegiatannya, akibatnya banyak kasus lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan tersebut.
PETI memang kini menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat yang mengandalkan
kehidupannya dari sektor perikanan. Itu sebabnya petani keramba, petani kolam pembenihan rakyat, bahkan Balai Benih Ikan Teso mengaku aktifitasnya sudah tersendat-
sendat. Malah hasil penelitian kualitas air di Balai Benih Ikan Teso dan di aliran anak-anak
Sungai sekitaran lokasi menunjukkan logam berat seperti Merkuri/Air raksa (Hg) jauh diambang baku mutu. Dalam waktu tertentu, logam merkuri akan terakumulasi pada biota
perairan, baik tumbuhan maupunhewannya. Kondisi ini harus diwaspadai. Banyak laporan
yang terkait dengan kasus pencemaran Merkuri, dan dikenal dengan Penyakit Minamata. Penyakit Minamata adalah penyakit syaraf yang disebabkan oleh racun metilmerkuri. Gejala awal adalah mati rasa anggota badan dan daerah sekitar tumit, gangguan panca indera dan kesulitan dalam melakukan aktifitas seharihari. Selain itu penderita juga mengalami kurangnya koordinasi antar syaraf, lemah dan tremor, kemampuan berbicara lemah dan lambat serta kemampuan pandangan dan pendengaran kurang. Penyakit tersebu memburuk dan menyebabkan kelumpuhan, pergerakan di luar kesadaran, kerusakan otak serta kematian.
Pada tingkat ringan, penderita mengeluh mulutnya kebal sehingga tidak peka terhadap rasa dan suhu, hidung tidak peka bau, mudah lelah dan sering sakit kepala. Pada tingkat berat penderita terserang sarafnya, termasuk otak, sehingga tidak bisa mengendalikan gerakan tangan dan kakinya, telinga berdering sampai tuli, daya pandang mata menyempit, dan bicara susah. Hal yang mengerikan banyak bayi yang dilahirkan dengan cacat bawaan. Metil merkuri berbahaya memang bagi wanita hamil.
Di lain kisah, Juli 2003 penambang emas tradisional di daerah Wonogiri menggunakan merkuri yang berwarna putih untuk memisahkan emas dari logam yang lain. Merkuri yang berwarna putih keperakan dan cair akan mengikat emas, sedang logam yang lain akan tersisihkan. Campuran merkuri dan emas ditempatkan pada satu cawan yang terbuat dari keramik. Pada cawan dihembuskan nyala api. Jarak antara nyala api dengan hidung orang kurang lebih 10 cm. Pada saat nyala api membakar campuran merkuri dan emas, cairan merkuri menguap dan logam emas tertinggal. Pada saat logam merkuri menguap, sangat dimungkinkan uap merkuri akan terhisap oleh pekerja. Apabila paparan ini terus berlanjut akan mengakibatkan keracunan dan kematian.
Disamping itu kegiatan PETI di Kuansing sebenarnya telah lama terjadi. Namun kini kondisinya lebih parah lagi. Mengingat para pelaku PETI di Jambi juga turut hijrah ke Kuansing. Mengingat sejak dua tahun lalu, aktivitas di Sungai Batanghari dihentikan oleh seluruh terkait di Provinsi itu. Karena ada ancaman dari Departemen Kelautan dan Perikanan memfinalti Dinas Perikanan dan Kelautan Jambi, bahwa dana APBN tidak akan mengucur untuk pengembangan keramba selagi ada aktifitas PETI.
Maraknya PETI dan menyadari dampak buruk aktivitas itu bagi lingkungan dan manusia, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kuansing sudah melaporkan hal tersebut kepada aparat setempat. Berbagai rapat koordinasi di Kabupaten telah berkali dilakukan. Hingga akhirnya ada delapan poin kesepakatan di tingkat Pemkab Kuansing. Intinya PETI harus dihentikan, penambang akan dibina, dan yang penambang lokal akan dialihkerjakan ke sektor lain. Batas akhir ditetapkan tanggal 31 Maret 2008.
B.Tujuan :
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain:
1, Untuk mengetahui dampak PETI
2. Untuk mengetahui dasar penegakan hukum PETI
3. Untuk mengetahui Faktor pendorong PETI
4. Untuk mengetahui Program Pemberarantasan PETI
BAB II
AKIBAT PETI
Gambar 1 : Penambangan Emas liar di sungai
Dampak Lingkungan Akibat Penambangan Liar
Logam berat lain As dan Cd, logam logam ini berasal dari batuan-batuan yang mengandung biji emas,
logam-logam ini berasosiasi dengan emas, karena sifat sifat kimia dari logam
tersebut. Dampak terhadap manusia dan lingkungan yang paling parah adalah adanya sifat Bio magnifikasi dimana logam-logam tersebut akan ikut berpindah dari tubuh predator awal hingga terakumulasi dan terus bertambah didalam tubuh predator akhir (ikan ke manusia).
Gambar 2 : Penambangan Liar yang dilakukan oleh anak dibawah umur.
1. Akibat Negatif , terdiri dari
Akibat secara fisik ;
pencemaran terhadap air, baik berupa erosi maupun larutnya unsur-unsur logam berat (leaching) karena sistim penirisan yang tidak baik,
pencemaran udara berupa debu dan kebisingan oleh kendaraan pengangkut,
perubahan kontur,
perubahan alur sungai, akibat penambangan pasir sungai,
longsor dikarenakan pembuatan jenjang yang terlalu curam, dan
subcidence, terjadi pada penambangan yang dilakukan secara bawah tanah.
Akibat non fisik :
pendapatan pemerintah dari sektor pertambangan berkurang
konflik sosial, terjadinya persaingan antar buruh tambang, dan
terganggunya keiatan sektor lain, seperti pertanian dikarenakan rusaknya irigasi dan perubahan alur sungai, dan perubahan kontur.
2. Akibat positif\
Membuka kesempatan kerja bagi masyarakat lingkar tambang,
Meningkatnya pendapatan masyarakat,
Tumbuhnya usaha penunjang kegiatan pertambangan seperti ; usaha warung makan, fabrikasi alat-alat pertambangan konvensional.
C. Dasar Penegakan Hukum
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3475) menyebutkan dalam Ps. 31. ayat (1) Dihukum dengan Hukuman penjara selama-lamanya enam tahun dan/atau dengan denda setinggi-tingginya lima ratus ribu rupiah, barangsiapa yang tidak mempunyai kuasa pertambangan melakukan
usaha pertambangan seperti dimaksud dalam pasal 14 dan 15. Ayat (2) Dihukum dengan
hukuman kurungan selama lamanya satu tahun dan/atau dengan denda setinggi tingginya
lima puluh ribu rupiah, barang siapa yang melakukan usaha pertambangan sebelum memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap yang berhak atas tanah menurut Undang-undang
ini.
Pada sisi lain daerah diberikan wewenang untuk membuat tim yang dikoordinasi oleh Kepala Dearah untuk menindak dengan tegas terhadap kegiatan pertambangan tanpa ijin Seperti yang diprintahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Koordinasi Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin. Peraturan tersebut ditindak
lanjuti dengan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2001 Tentang Tim
Koordinasi Penanggulangan Pertambangan Tanpa Izin, Penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak Serta Perusakan Instalasi Ketenagalistrikan Dan Pencurian Aliran Listrik diputuskan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara lintas sektoral/instansi serta dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk mendukung kelancaran pelaksanaan program penanggulangan pertambangan tanpa izin, penyalahgunaan bahan bakar minyak, serta perusakan instalasiketenagalistrikan dan pencurian aliran listrik, serta didukung oleh Perda di bidang pertambangan. Dengan diberlakukannya ternyata tidak efektif mengurangi jumlah kasus pertambangan tanpa izin.
D. Faktor Pendorong PETI
Beberapa faktor yang mendorong meningkatnya kegiatan PETI penyebab adalah sebagai berikut ;
1. Karakteristik usaha pertambangan
Usaha pertambangan pada umumnya memberikan keuntungan materi yang relatif tinggi, karena beberapa bahan galian tanpa melalui pengolahan langsung dapat dijual.
Permintaan terhadap pasar bahan galian yang relatif tinggi, terutama pada daerah-daerah yang mempunyai pertumbuhan pembangunan fisik yang tinggi.
Tingkat pengusahaan yang mudah, terutama untuk bahan galian golongan C.
Umur tambang yang sangat singkat, beberapa diantaranya lebih singkat dari lamanya proses perijian, karena sebagain besar berupa pertambangan sekala kecil.
2. Ketidaksiapan pemerintah daerah
Proses perijinan yang rumit dan memakan waktu yang lama,
Terjadinya praktek suap dan pungli yang menyebabkan retibusi dan pajak tidak sampai ke kas pemerintah,
Lemahnya pengawasan terhadap usaha pertambangan, dan
Lemahnya penegakan hokum
E. Program Pemberantasan PETI
Dalam menyelesaikan masalah peti PETI diatas perlu dilibatkannya stakeholder yang bertanggung jawab yakni ;
1. Pemerintah, sebagai leading sector-nya adalah DESDM di tingkat pusat dan Dinas Pertambangan pada tingkat daerah.
2. Pengusaha pertambangan, baik perorangan maupun kelompok.
3. Masyarakat, terutama masyarakat di sekitar kegiatan pertambangan dilakukan, mempunyai fungsi pengawasan, baik melaui lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun melalui kelompok-kelompok lain.
Solusi dalam menyelesaikan masalah PETI harus dilakukan bersama-sama antar beberapa stakeholder yang terdiri dari ;
1. Pemerintah melakukan langkah-langkah sebagai berikut ;
Mempermudah proses perijian pertambangan melaui sistim satu atap, sehingga waktu setra biaya yang dibutuhkan dalam memproses perijinan lebih sedkit dan singkat.
Melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan pertambangan.
Memberikan penyuluhan pada masyarakat dan pengusaha pertambangan tentang kesadaran lingkungan.
Melakukan pembinaan dan bimbingan teknis terhadap pengusaha pertambangan.
Membuat zonasi wilayah pertambangan sehingga tidak terjadi tumpang tindih dengan sektor lain dan penyebaran kerusakan lingkungan dapat dicegah.
Memberikan alternatif usaha lain terhadap pengusaha dan buruh tambang dengan cara memberikan tambahan keterampilan bagi pengusaha dan buruh tambang.
2. Masyarakat dan LSM
Bekerjasama dengan pemerintah memberikan penyuluhan terhadap buruh dan pengusaha tentang kesadaran lingkungan.
Mendorong dibentuknya kelompok-kelompok baik buruh maupun pengusaha tambang yang difasilitai oleh pemerintah.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
PETI merupakan kegiatan pertambangan tanpa izin yang dilakukan oleh sebagian Masyarakat maupun oknum lainnya.Namun pada saat ini kegiatan tersebut telah banyak menimbulkan dampak negatif pada lingkungan disekitar tambang tersebut seperti pencemaran air.hal ini tejadi akibat adanya penggunaan senyawa merkuri untuk memisahkan biji emas dengan logam lainnya.Apabila hal ini tidak ditindak lanjuti oleh pemerintah maka masyarakat yang berada di sekitar tambang tersebut akan mengalani berbagai macam penyakit salah satunya penyakit Minamata.
2. Saran
1. Diharapkan kepada pemerintah agar dapat memberikan suatu tidakan tegas terhadap PETI sesuai peraturan yang berlaku.
2. Diharapkan kepada LSM dan lembaga pemerintahan lainnya yang terkait bidang kegiatan yang berbasis lingkungan maupun kesehatan agar dapat mensosialisasi bagaiman cara melakukan pertambangan yang sesuai peraturan yang berlaku dan tidak mencemari lingkungan.
Daftar Pustaka
1. Verakis, Harry and Lobb, Thomas, “ Blasting Accident in Surface Mines, Two Decade Summary” ISEE Conference 2001 page 145.
2. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 555.K/26/M.PE/1995 mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Pertambangan Umum
Verakis, Harry and Lobb, Thomas, “ Blasting Accident in Surface Mines, Two Decade Summary” ISEE Conference 2001 page 145.
Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 555.K/26/M.PE/1995 mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Pertambangan Umum
sumber: http://ariagusti.wordpress.com/